Jumat, 07 Agustus 2020

Tiga level kesadaran manusia menghadapi corona

Kesadaran manusia atas suatu hal memang berbeda-beda. Tergantung tingkat pendidikan, pola interaksi, paradigma, motif dan tujuan. Semua pendidikan hakikatnya bertujuan meningkatkan level kesadaran. Pendidikan yang menganggap manusia bagaikan bank, sekedar tempat menyimpan ilmu, bukanlah menghasikan sebuah kesadaran. Namun justru kesadaran lah yang akan membedakan manusia dengan hewan. Demikian pendapat Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan Brasil, teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia. Dia menggolongkan kesadaran menjadi tiga, yakni kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Dimanakah tingkat kesadaran kita dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang sedang melanda ini? 

Kesadaran magis lahir karena paradigma konservatif. Tidak mau berubah, bertahan di zona nyaman dengan status quo-nya. Kesadaran magis ini menganggap pandemi covid-19 yang ada di masyarakat sebagai sesuatu yang alami, memang sudah seharusnya terjadi. Covid-19 dianggap sudah menjadi ketentuan sejarah dan takdir Tuhan, maka tidak penting untuk mengetahui covid-19 secara sisi ilmiah. Perubahan sosial dianggapnya bukan sesuatu yang harus diperjuangkan. Perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara. Manusia dianggap tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Hanya Tuhan yang bisa merubah keadaan covid-19 ini karena Tuhan lah yang merencanakan terjadinya pandemi ini. Solusi atas covid, semuanya adalah rahasia ilahi. 

Coba lihat sekeliling kita, masih banyak masyarakat yang tingkat kesadaranya ada di level kesadaran magis ini. Berapa banyak yang mengabaikan protokol kesehatan. Masih bersalaman dengan selain keluarga inti, tidak memakai masker saat keluar rumah, tidak jaga jarak. Banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa kita sedang dalam masalah. Anggapan toh di dunia ini banyak penyakit mematikan lainnya dan itu memang sudah demikian adanya. Toh penyakit yang bersifat pandemi akan selalu ada dari dulu dan sampai kapanpun. Setelah Corona ini ya pasti akan ada penyakit pandemi baru, atau penyakit lama yang akan muncul kembali. Sudah biasa. Siklus kehidupan, takdir, ini hanya cobaan dari Tuhan, atau memang hak Tuhan untuk murka.

Kesadaran magis ini merekomendasikan manusia untuk lebih baik mengabaikan covid, tidak mau tahu, menganggapnya tidak ada, atau menganggapnya ada namun bukan sebuah masalah. Kesadaran magis ini terlihat juga dalam sikap penolakan rapid test, mereka lebih baik untuk tidak mengetahui adanya masalah. Dalam ketidaktahuannya mereka bisa lebih berani menghadapi Corona dari pada orang yang mengetahuinya secara ilmiah. Mereka lebih berani bersalaman, santai dengan tidak memakai masker dan merasa aman saat tidak menerapkan social distancing. Untuk mempertahankan pendapatnya di dunia sosial, mereka melakukan pembenaran keyakinannya dengan terus meredam arus informasi penting tentang covid-19 beserta resikonya, mengabaikan anjuran pemerintah, melakukan argumentasi pendapat yang tidak ilmiah bahkan bisa sampai menantang siap untuk terkena covid-19.

Banyak hal penyebab kesadaran magis masyarakat atas covid-19 ini. Bisa dari faktor publikasi pemerintah yang kurang sampai ke mereka. Dalam komunikasi informasi edukasi ada faktor siapa yang menyampaikan berita, isi berita itu sendiri, cara penyampaian berita, media penyampaian berita, dan bagaimana rantai penyampaian informasi. Perlu dikaji efektivitas dari semua faktor rantai informasi tersebut karena orang dengan kesadaran magis cenderung masih bertahan di mitos, bukan di logos (ilmu).

Kedua, kesadaran naif. Lebih tinggi levelnya dari kesadaran magis. Kesadaran naif ini mengakui adanya masalah. Yakin bahwa covid-19 ada, meyakini keilmiahannya. Namun kesadaran naif ini menafikan potensi manusia untuk melakukan sebuah perubahan dari ketertindasan, takdir, nasib buruk. Pendidikan dan keterampilan manusia tak berhubungan dengan persoalan di masyarakat. Dunia ini dianggap sebuah sistem otomatis yang berjalan penuh dengan keteraturan. Kalaupun ada masalah maka yang perlu diperbaiki adalah individunya, bukan sistemnya.

Kesadaran naif menganggap pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia menerima kenyataan, bukan untuk mengubah keadaan. Manusia ini sadar bahwa mereka sedang dalam masalah pandemi, mereka bisa saja kecewa atas dampak Corona. Namun mereka berkeyakinan bahwa perubahan adalah di luar kontrol manusia. Alam semesta dianggap pasti memiliki mekanisme harmoni tersendiri. Dunia ini akan sembuh sendiri dari Corona, entah itu dengan jalan herd-immunity atau cara alami lainnya. Tuhan yang Maha Pengasih pasti akan menyelesaikannya dengan cara yang tidak diduga oleh manusia.

Kesadaran naif menyadarkan bahwa covid-19 adalah masalah yang aktual. Namun dia tetap melihat manusia dengan segala sisi keterbatasan sehingga percuma untuk melakukan langkah perubahan apapun. Manusia dianggap bukan menjadi bagian yang berkewajiban untuk berubah. Untuk apa sebuah perubahan, toh semua manusia juga akan mati. Mereka semakin putus asa untuk melakukan perubahan karena adanya rintangan di setiap upayanya. Perubahan dianggap mustakhil untuk diupayakan, hanya “tangan Tuhan” yang bisa. Seandainya pandemi tidak berakhirpun, itu dianggap kewajaran yang sudah digariskan oleh takdir Tuhan. Tak ada yang bisa melawan kehendak-Nya.

Maka satu-satunya pilihan saat menghadapi pandemi adalah menerima takdir pahit tersebut. Kesadaran naif tidak memberdayakan manusia dan tidak menempatkan manusia dalam posisi upaya optimal yang bisa dilakukan. Banyak ketidakmungkinan dan pesimisme akan adanya solusi yang disengaja. Semuanya hanyalah jalan buntu. Kesadaran naif ini merekomendasikan manusia untuk bertingkah pasrah. Upaya mereka tidak ada, atau hanya normatif dan setengah-setengah. Mereka bertoleransi pada pelanggaran-pelanggaran social distancing, mereka masih bersalaman dengan alasan “tidak enak” secara sosial, memakai masker hanya sebagai hiasan di leher. Tidak menganggap bahwa sekecil apapun upaya mereka sangatlah bermakna bagi pandemi ini.

Yang terakhir, ada yang disebut kesadaran kritis. Kesadaran ini timbul karena adanya potensi manusia dan keharusan untuk berubah. Manusia ini sadar bahwa dia memiliki kemampuan mengubah struktur secara fundamental. Alam memiliki aturan hukum sendiri untuk berjalan, namun manusia diyakini memiliki ruang untuk berpikir melampaui dan bangkit (transendensi) serta melakukan sebuah perubahan (transformasi). Kesadaran kritis ini tidak hanya sadar kita sedang dalam masalah namun tidak membiarkan dan menyerahkan masalah itu pada mekanisme alami atau takdir Tuhan belaka. Kesadaran kritis selalu siap dan terbuka dengan masalah apapun, resikonya dan siap untuk mencari solusi. Yakin bahwa melakukan perubahan sekecil apapun adalah sebuah mekanisme yang harus ditempuh.

Kesadaran kritis merekomendasikan adanya sebuah harapan dan optimisme. Kesadaran kritis manusia atas covid-19 ini terlihat dari sikap seperti menganggap data adalah sesuatu yang penting. Menyajikan data berapa jumlah hasil pemeriksaan yang terkonfirmasi positif covid-19 dengan apa adanya.  Menerima masalah sebagai fakta aktual yang tidak perlu disembunyikan. Tak perlu naif dan konyol dengan menolak realitas. Bahkan manusia dengan kesadaran kritis tidak hanya memperhatikan masalah yang aktual saja, masalah yang masih bersifat potensial juga sudah perlu disikapi dengan manajemen resiko. Kesadaran kritis memahami fitroh manusia adalah untuk melakukan perubahan dengan upaya optimal. Kalaupun upayanya tidak berhasil menurunkan pandemi, mereka tetap terus berupaya bagaimana caranya mengurangi dampak kesakitan atau kematian, dampak penyebaran, dampak sosial dan ekonomi dari pandemi ini.

Kesadaran kritis ini terlihat dari sikap tidak menganggap remeh covid-19 dan langkah pencegahannya. Meskipun dicemooh orang di sekitarnya yang menganggapnya berlebihan dalam menyikapi covid-19. Mereka dianggap penakut, tidak bertawakal kepada Tuhannya. Ketakutannya dalam menjaga jarak, takut bersalaman dengan orangtuanya sendiri yang sudah bukan keluarga inti, dianggap konyol dan tidak menghargai etiket sopan santun. Namun upaya orang-orang dengan kesadaran kritis ini tidak akan pernah berhenti, sekecil apapun adalah sangat bermakna. Mereka tidak akan menyerah kepada takdir, mereka memaknai upaya mereka adalah bagian dari takdir Tuhan yang menginginkan perubahan. Justru perubahan pandemi ini tak akan terjadi tanpa langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan yang mendasar ini.

Di level pemimpin, kesadaran kritis ini akan melahirkan pemimpin tranformasional. Pemimpin yang memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan perubahan. Optimisme pemimpin yang kritis ini akan melahirkan harapan pada banyak orang. Sikapnya akan menggerakan orang-orang untuk kritis kepada masalah yang ada, kritis kepada cara pencegahan dan penanggulangannya, dan kritis pada dampak langsung maupun tidak langsung dari pandemi ini. Perhatian kritisnya kepada masyarakat akan mendapatkan dukungan balik di semua langkah kebijakannya.

Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM (Kabid Litbang IAKMI Kab. Tegal)

Selasa, 04 Agustus 2020

Penyakit Cacingan Sebabkan Dampak Buruk pada Anak



Rabu (29/7) Dinas Kesehatan berkerja sama Dengan Radio Slawi FM mengadakan acara Talkshow mengenai kesehatan bertema “Waspada Penyakit Cacingan sebelum Mengganggu Pertumbuhan anak” dengan narasumber dr. Jamaludin dari Puskesmas Kupu. Kegiatan ini disiarkan melalui Radio Slawi FM 99,3 pukul 10.00-11.00  WIB.  Kegiatan talkshow mengenai kesehatan ini merupakan kegiatan yang  rutin disiarkan  satu minggu sekali setiap hari rabu di Slawi FM 99.3 pukul 10.00 sampai pukul 11.00 WIB.  

Dalam paparannya, dr. Jamaludin, Kecacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit berukuran mikro yang mengambil makanan dari usus yang berisi banyak sari Makanan. Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang tergolong tinggi kejadiannya di Indonesia. Menurut data depkes 2006  Prevalensi penyakit cacingan semua umur di Indonesia yaitu Antara 40-60%.

Cacing memasuki tubuh melalui dua jalan yaitu, pertama lewat mulut, yaitu ketika anak makan makanan yang tidak higienis, atau ketika anak bermain-main pasir lalu lupa cuci tangan sebelum makan sedangkan kukunya panjang telur cacing masuk lewat mulut ketika anak makan turun ke anus lalu  menetap di usus besar. “Itulah makanya orang tua penting sekali untuk memotong kuku anaknya satu minggu sekali agar bisa memutus rantai hidup cacing” Imbuh Irsan. 

Kedua Cacing masuk lewat pori-pori. Bila anak tidak memakai alas kaki saat berjalan di tanah dan bersentuhan dengan larva cacing. Sangat mungkin larva itu masuk ke dalam tubuhnya lewat pori-pori.

“Makanan yang tidak higienis juga bisa menyebabkan kecacingan”, kata dr Jamal.  Makanan yang menyebabkan kecacingan biasanya dikarenakan proses pemasakan yang tidak baik. Agar tidak menyebabkan cacingan makanan harus dicuci dan dimasak sampai matang. Contohnya daging, kita harus memasak daging sampai matang agar terhindar dari penyakit cacingan.

Cacing yang biasa menyerang orang antara lain Cacing gelang , cacing cambuk, cacing tambang dan cacing kremi. Cacing yang banyak diderita anak-anak yaitu cacing kremi. Cacing kremi bertelur dimalam hari dan bertelur di sekitar anus, Ciri khas anak menderita cacing kremi yaitu merasa gatal di anus yang akhirnya menyebabkan anak garuk-garuk seputar anus. Tangan anak yang tertempel telur cacing bisa menempelkan telur cacing ke perrmukaan sprei atau permukaan lainnya. Telur cacing bias hidup 2-3 minggu pada sprei dan permukaan lainnya.

Gejala penyakit cacingan menurut dr. Jamal antara lain muka pucat dan tampak lelah, badan kurus dan perut tampak buncit, anak lesu dan malas belajar, kadang perut mulas dan terjadi mencret, pada tinja terkadang ditemukan cacing.

Sedangkan akibat menderita penyakit cacingan  antara lain pertahanan tubuh menurun dan mudah sakit, mengakibatkan kurang darah (anemia), menderita kurang gizi, tingkat kesadaran menurun dan prestasi menurun dan dubur terasa gatal.

Disarankan untuk setiap orang meminum obat cacing setiap 6 bulan sekali. Di Kabupaten Tegal Program Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) Cacingan pada anak balita dan anak sekolah dasar  dilaksanakan 1 tahun sekali setiap bulan Agustus - September dengan sasaran anak usia 1-12 tahun. Obat cacing diberikan secara gratis. Untuk anak sekolah dasar minum obat yang dibagikan pada kegiatan penjaringan kesehatan anak sekolah. Untuk anak balita minum obat diberikan bersamaan dengan pemberian vitamin A. Obat cacing yang diberikan yaitu Albendazole, dosis tunggal (400mg). Obat cacing di berikan oleh petugas Puskesmas atau kader atau guru disekolah. Sebelum minum obat cacing, anak/balita harus sarapan dahulu dirumah masing-masing.

“Semua anak-anak harus meminum obat cacing karena anak-anak sangat mudah terinfeksi cacing perut dan infeksi cacing bisa  memberikan dampak buruk pada anak seperti anak menjadi kurang gizi dan kemampuan belajar anak menurun” pungkas dr Jamal.

Sebagai penutup dr Jamal mengatakan bahwa kecacingan bisa  menyerang siapa saja. Pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Dokter jamal mengingatkan agar kita jangan lupa untuk selalu mencuci tangan pakai sabun, pakai sepatu atau sandal, minum obat cacing minimal  6 bulan sekali, masak daging sampai matang dan jangan lupa menerapkan pola hidup bersih dan sehat.(MKA)

Minggu, 31 Mei 2020

Komitmen Bersama Hadapi Covid-19 dan Dampak Covid-19

Komitmen Bersama Hadapi Covid-19 dan Dampak Covid-19

Oleh Afiati HK
ASN di RSUD Suradadi Kab Tegal
Tayang di web Kominfo Kab Tegal

Terima kasih sudah memakan masker dan Sosial distance (menjaga Jarak) 

Covid-19, akankah bertahan lama atau tidak,  dalam hitungan bulan atau tahun, satu renja atau satu renstra, menjadi titik  balik perhitungan perencanaan di tingkat nasional maupun daerah.     Termin waktu pendanaan,  kapan harus selesai dan pengadaan fisik maupun non fisik juga sempat didudukkan dalam posisi menyangsikan sampai kapan covid-19 akan selesai.  Tapi Ahli epidemiologi belum ada yang bisa menjawab termasuk peneliti diseantero jagad.

Solusi pertama ditegakkan adalah dengan melakukan isolasi diri untuk menghasilkan _herd_ _immunity_ (14 hari) dimana kekebalan komunitas jika sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi supaya tubuh kebal infeksi. Itu merupakan bekal ilmu dasar penyebaran penyakit hubungannya dengan imunitas tubuh sebagai alternatif utama karena covid kebal dan sampai sekarang belum ada obat yang pas untuk menerapinya. Apapun efektifitas isolasi sebenarnya belum bisa dipastikan sampai berapa persen keberhasilannya.

Saya bukan orang politik, hanya pemerhati kesehatan dan ekonomi kesehatan sesuai disiplin ilmu yang saya pelajari. Melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar kemarin dan _Work_ _From_ _Home_ yang sebenarnya diprediksikan dapat menekan angka covid, tetapi belum juga efektif menekan. Efek yang dirasakan justru banyak terdampak covid-19, seperti yang sudah disampaikan oleh para pakar ekonomi di perencanaan pusat dan daerah Kabupaten Tegal. Apakah ini berarti PSBB WFH gagal, sebab maupun faktor apa penyebab belum dilakukan penelitian lanjut hanya asumsi yang beredar belum ada kejelasan

Hal yang pasti berkaitan dengan covid-19 yaitu angka kemiskinan yang naik signifikan sesuai penelitian Pusat Jaminan Kesehatan, penyetoran hasil sektor pajak dan retribusi, target kemiskinan yang seharusnya turun menjadi naik, Inflasi yang mestinya terjadi di setiap kegiatan malah terjadi deflasi, demikian kajian ekonomi secara macro di Indonesia yang terjadi reses global. Pemerintah Pusat maupun daerah harus mengeluarkan dana yang sangat signifikan untuk bersama mengentaskan bencana non alam.
Semua dana beban anggaran ditarik untuk membantu pengentasan covid. Sampai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional diubah untuk penyesuaian covid-19 dengan Permendagri 90/2020.

Pemerintah terbenani atas Pembiayaan covid-19. Sebagaimna disebut bahwa sebelum pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, selain kelompok rumah tangga miskin (11%), dan hampir miskin/rentan (24%), laporan _World_ _Bank_ menuliskan ada sebesar 115 juta jiwa atau 45% dari populasi Indonesia merupakan kelompok _Aspiring_ _middle_ _class_ (calon kelas menengah). Kelompok ini telah terbebas dari kemiskinan namun belum sepenuhnya memiliki jaminan keamanan ekonomi, dimana kelompok ini sangat rentan untuk kembali jatuh miskin ketika ada guncangan ekonomi.

Demikian juga dengan merebaknya pemberhentian pekerja oleh perusahaan yang tidak dapat bertahan karena covid-19, dan efek ekonomi mikro lainnya maka akan sangat membahayakan kelompok rentan. Belum lagi jika sakit non covid, maka masyarakat rentan harus mengaktifkan BPJS nya yang diperkirakan senilai 30 juta termasuk sampai rawat inap non covid-19. Tentunya hal itu merupakan sebuah keniscayaan yang terprediksi terjadi. Sehingga hal ini disebut merupakan salah satu kontributor bertambahnya angka kemiskinan selain terhambatnya sektor pajak, retribusi dan rendahnya pendapatan.

Ditinjau dari indikator pemberian jaminan kesehatan, sebelum pandemi Covid-19, data SISMONEV Dewan Jaminan Sosial Nasional per Februari 2020 menunjukkan ada sebanyak 20.134.003 peserta Jaminan Kesehatan Nasional Non PBI yang menunggak membayar iuran (angka ini merupakan 22,5% dari seluruh peserta non PBI). Dimana sebanyak 4.889.910 peserta adalah pekerja swasta yang menunggak, disegmen Pekerja Penerima Upah kelompok pekerja swasta ini merupakan penyumbang terbanyak yang menunggak iuran (94%). Sebanyak 14.834.910 peserta (49%) dari kelompok PBPU (Pekerja bukan penerima upah) juga tercatat menunggak membayar iuran JKN.

Sementara setelah pandemi Covid-19, data Menakertrans per 11 April 2020 menunjukkan sebanyak 1.080.765 orang pekerja formal di rumahkan dan 160.067 di Pemutusan Hubungan Kerja. Pada pekerja sektor informal sebanyak 265.881 orang terdampak. Kondisi ini sudah pasti berpeluang meningkatkan jumlah peserta yang kehilangan perlindungan jaminan kesehatan nasional karena tidak membayar iuran JKN.

Dari semua data tersebut dapat dbayangkan seberapa besar beban pemerintah untuk menanggung beban masyarakat, baik Penerima Bantuan Iuran, _liyer_ _near_ _poor_ (kelompok rentan) maupun masyarakat terkena covid-19

Hal tersebut membuat pilihan new normal menjadi alternatif yang terpikir dapat diambil sebagai upaya penyelamatan. Semoga bukan langkah terminal untuk hembusan semangat ekonomi baru. Kabupaten Tegal telah dimulai dengan Surat Edaran Bupati Tegal 910/25/2020 20 Mei 2020 tentang pencabutan pemberhentian kegiatan bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tahun 2020 yang sejalan dengan Kepmendagri 440 830/2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru produktif yang dan aman bagi Aparatur Sipil Negara 2020,  untuk mengawali kondisi normal kembali berdasarkan protokolnya covid-19

Sejauh ini pemerintah mengajak masyarakat tetap menjalankan protokol corona. kendatipun melawan itu hal yang susah. Seperti kita ketahui lebaran kemarin begitu berjubel swalayan, di gerai baju sepatu, tas, baju anak, seakan covid-19 merupakan cerita saja yang menakutkan. Tetapi kembali ke budaya, masyarakat kita adalah _risk_ _taker_ (pengambil risiko) yang luar biasa. Sampai asisten saya berkata : di desa saya sekarang tetep jalan, ora ngaruh covid, dan penjual ponggol yang lewat depan rumah saya pun memaksa cipika cipiki lebaran kendati saya bohongi dengan berkata saya belum mandi, maka dia berseloroh sama saya juga belum mandi, hmm... , saya kejar : takut covid mbak dibalas dengan santai sehat lah bismillah... _Speechless_ jadinya. Begitu gambaran masyakarat kita pada umumnya, mungkin bosan dirumah terus atau dan lain lain alasannya.

Masyarakat tidak menahu seberat apa beban Dilan (pemerintah) beserta imbasnya. Demikian implikasinya tidak bisa dsalahkan begitulah masyarakat sehingga penjelasan kesehatan perlu untuk terus diberikan saudara saudara di promosi kesehatan dimanapun berada.  Bagi Instansi pemerintah dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus _update_ dan menjalankan setiap ada kebijakan baru yang selalu terus ada mengikuti perkembangan covid-19

Termasuk Imbas kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Giliran OPD terdampak covid-19 kondisi menjadi kempis kempis, terlebih yang berbentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dimana harus mengelola pendapatan sendiri. Apalagi bagi BLUD lemah atau mendekati lemah,  pendapatan yang belum mampu menghadapi operasional masih harus terefokusing (terkurangi anggaran dan pendapatan) dan pengurangan pagu anggaran pemerintah daerah maupun pusat.

Bagi organisasi Rumah Sakit seperti kami yang menjadi garda depan pelayanan covid-19, harus siap menghadapi semua dampak, _refocussing_ (pengurangan anggaran) sampai dengan hal praktis kekurangan Alat Pelimdung Diri, mengelola bantuan bantuan, kekurangan obat, PCR rapid, kekosongan obat dengan efeknya komplain user, termasuk tagihan pihak ketiga, semoga bisa terselesaikan. Belum lagi dengan penetapan covid-19 sebagai penyakit akibat kerja (banyaknya petugas kesehatan yang terpapar covid dtempat kerja) semakin menambah horornya covid-19 bagi Rumah Sakit. Tidak terpikir betapa kalang kabutnya Instansi kesehatan dari Dinas Kesehatan, puskesmas sampai dengan layanan rujukan yang saat ini semua melayani pasien covid-19.

So what, jadi bagaimana guys, saudara? Tidak ada kata terserah anda. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu sendiri yang mengubah nasibnya (QS Ar Ra'd:11). Semoga ilustrasi di atas bisa menggambarkan sedikit keadaan pemerintah dan Instansi kesehatan. Kita Turut bertanggung jawab atas keadaan Ini semua. Jalankan protokol kesehatan di setiap kegiatan, tetap jaga Jarak ( _social_ _distance_ ), tetap pakai masker ramaikan yang sudah pada produksi, cintai produk dalam daerah dengan pakai masker. Monggo sareng sareng bebrayan komitmen bersama hadapi covid-19.

Senin, 27 Januari 2020

LARVITRAP, SOLUSI MENGURANGI POPULASI NYAMUK PENULAR DBD



Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan dapat juga ditularkan oleh Aedes Albopictus, yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, disertai manifestasi perdarahan. Termasuk uji Tourniquet positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%), disertai dengan atau tanpa perbesaran hati. (Depkes RI, 2005) (9)

Jumlah kasus DBD di Indonesia menempati urutan pertama setiap tahunnya dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara.(5) Situasi kasus DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2019 terjadi kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2018. Jumlah kasus DBD tahun 2019 ada 370 kasus, dengan kematian 3 anak, sedangkan jumlah kasus DBD tahun 2018 berjumlah 77 kasus dengan kematian 1 anak. Jumlah desa endemis DBD kini sebanyak 21 desa atau 7% dari seluruh desa  di Kabupaten Tegal. (Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, 2019)

Terdapat 3 faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus Dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes spp.(5) “Spp.” adalah istilah dalam Entomologi (ilmu yang mempelajari serangga) yang maksudnya nyamuk Aedes tersebut belum diidentifikasi spesifik spesiesnya, apakah itu spesies Aegypti, Albopictus, Vexan atau lainnya.

Nyamuk Aedes Aegypti tersebar luas di rumah-rumah, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya seperti tempat ibadah, restoran, kantor, dan balai desa sehingga setiap keluarga dan masyarakat beresiko tertular penyakit DBD.(9)  Resiko penularan adalah banyaknya tempat-tempat perindukan nyamuk Aedes Aegepty. Kepadatan vektor di Indonesia (indeks premis/HI) diperkirakan 20% atau 5% di atas nilai ambang risiko penularan. (1) Tempat istirahat yang disukai nyamuk Aedes spp. adalah benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti gorden, kelambu dan pakaian di kamar yang gelap dan lembab.(3)

Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M plus secara terus menerus dan berkesinambungan. Menguras (bak mandi), Menutup rapat (tempat penampungan air) dan Mendaur ulang (barang bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk). Ditambah lagi tindakan lain untuk mengurangi tempat perindukan nyamuk dan mencegah gigitan nyamuk. Seperti mengganti air vas bunga, tempat minum burung seminggu sekali, memperbaiki saliran air yang tidak lancar, menutup lobang pada potongan bambu dengan tanah, menabur larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu atau menggunakan kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, menggunakan obat anti nyamuk, menanam tumbuhan pengusir nyamuk, menggunakan perangkap telur/larva/nyamuk.(4)(6)

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 22 ayat 2 yang berbunyi “Pengendalian vektor penyakit merupakan tindakan pengendalian untuk mengurangi atau melenyapkan gangguan yang ditimbulkan oleh binatang pembawa penyakit seperti serangga (nyamuk) dan binatang pengerat.”

Pengendalian nyamuk Aedes Aegypti dapat dilakukan secara fisika, kimiawi (insektisida) dan modifikasi lingkungan (Soegijanto, 2014).(9) Menurut Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa selama ini teknik pengendalian larva nyamuk Aedes Aegypti dilakukan secara kimiawi (menggunakan insektisida).(9) Hal ini dapat berdampak buruk terhadap lingkungan maupun kesehatan sebagai akibat dari pajanan pestisida.

Program pengendalian Aedes spp di berbagai negara termasuk Indonesia pada umumnya kurang berhasil, karena hampir sepenuhnya bergantung pada pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa. Hal ini membutuhkan biaya besar (5 milyar per tahun),menimbulkan resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan tidak berdampak panjang. (9)

Saat ini telah banyak dikembangkan metode pengendalian vektor DBD yang lebih aman, yaitu melalui pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes Aegypti pra dewasa (telur dan jentik/larva) menggunakan Larvitrap. Larvitrap (larva: jentik nyamuk, trap: perangkap) adalah wadah yang dapat menampung air dengan penambahan kain strimin. Prinsip kerja alat ini adalah sebagai perangkap larva dengan membuat breeding places Aedes spp untuk bertelur. Telur yang diletakkan oleh nyamuk di dinding larvitrap saat menetas dan menjadi larva tidak mampu keluar dari wadah tersebut. Telah diketahui bahwa tahap pra dewasa (telur dan jentik/larva) merupakan titik kritis pengendalian nyamuk Aedes spp. Pembuatan larvitrap dapat menggunakan bahan-bahan bekas yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar seperti ember, pot bunga , gerabah dan plastik bekas.(7)

Pada tahun 2015, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Jakarta telah mencoba melakukan pengembangan teknologi tepat guna untuk pengendalian vektor (perangkap telur dan larva nyamuk Aedes spp) yang lebih sederhana yang dikenal dengan nama teknologi tepat guna (TTG) Larvitrap. Hasil uji menunjukkan bahwa dari pengambilan 554 sampel larvitrap, memiliki preferensi 72,0% menjadi habitat berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.(9) Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Roeberji, dkk (2017) hasil uji preferensi menunjukkan bahwa 72,0% Larvitrap berhasil menjebak jentik nyamuk Aedes spp.

Gambar 1. Bentuk Larvitrap sederhana

Larvitrap menggunakan semacam atraktan untuk menarik perhatian nyamuk untuk bertelur di dalamnya. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya tarik atau dapat mengundang serangga (nyamuk) untuk menghampiri baik secara kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa amonia, CO2, asam laktat, actenol dan asam lemak.(1) Salah satu atraktan yang mudah didapat dan efektif digunakan bersama Larvitrap adalah air rendaman jerami.
Pada air rendaman jerami terjadi proses fermentasi secara anaerob. Hasil fermentasi rendaman jerami biasanya berwarna kuning keruh dan beraroma menyengat. Bau menyengat dari air rendaman jerami adalah hasil fermentasi berupa CO2 dan amoniak. Senyawa ini tebukti dapat mempengaruhi saraf penciuman dan mempengaruhi nyamuk Aedes spp. dalam memilih container sebagai tempat bertelur.(1)

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang telah dilakukan oleh Lelono tahun 2010 yang mendapatkan bahwa air jerami lebih banyak dijumpai telur Aedes spp dari pada media yang lainnya. Pada penelitian ini ovitrap (perangkap telur nyamuk) yang berisi rendaman jerami memperlihatkan indeks Ovitrap 61,7% dengan jumlah telur 1.758 butir, sedangkan penelitian Lelono tahun 2010 mendapatkan jumlah telur sebanyak 420 butir. Jumlah tersebut merupakan perolehan telur paling banyak daripada media lain (air aquades, air kelapa, air hujan, air kolam, air sumur, air mineral) yang digunakan oleh Lelono dalam penelitiannya.(2) Perkembangan telur menjadi larva nyamuk membutuhkan waktu 1-2 hari. Larva Aedes spp. selanjutnya akan mengalami perkembangan menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari.(1)

Dalam hal atraktan fisik seperti warna, penelitian Tien Zubaidah, dkk (2017) Ovitrap dengan warna hitam menghasilkan jumlah telur terbanyak (2253 butir telur) dan Ovitrap tanpa warna menghasilkan jumlah telur paling sedikit (1069 butir telur). Perindukan nyamuak Aedes sp yang paling disenangi yaitu yang berwarna gelap, kebiasaan istirahat nyamuk Aedes sp lebih banya pada benda-benda yang berwarna gelap dan tempat-tempat yang terlindung.(8)

Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal sendiri telah melakukan uji coba penggunaan Larvitrap pada tiga desa endemis, yakni Desa Pesarean kecamatan Adiwerna, Desa Yamansari Kecamatan Lebaksiu, dan Desa Kebandingan Kecamatan Kedungbanteng pada bulan Oktober-Desember 2019. Dengan menempatkan 2 buah Larvitrap di masing-masing rumah, yakni di dalam dan di luar rumah. Dari sejumlah total 730 rumah yang di uji coba, diperoleh hasil sebagai berikut:


 
Tabel 1. Hasil uji coba Larvitrap di 3 desa endemis di Kabupaten Tegal

Diperoleh hasil bahwa Larvitrap yang diletakkan di dalam rumah efektif menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 33,7% dan Larvitrap yang dipasang  di luar rumah yang efektif menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 28,8%.

Larvitrap yang diujicobakan tersebut terbuat dari toples kue, yang diberi lubang pada tutupnya. Lalu pada lubang tersebut diberi sebuah pipa yang telah di cat warna hitam pada bagian sisi lingkarannya. Ujung bawah pipa tersebut telah diikatkan sebuah kain strimin yang menggunakan cable ties. Tiga helai daun jerami direndam air secukupnya hingga melebihi tingginya kain strimin.

Larvitrap tersebut dimonitor dua minggu sekali oleh kader kesehatan desa dan dicatat hasilnya. Lalu jentik nyamuk yang terperangkap langsung dibuang ke tanah dan mati jika terkena sinar matahari. Atau jika sudah menjadi nyamuk, dibunuh terlebih dahulu dengan menyiramkan air panas ke dalam larvitrap.


 Gambar 2. Jentik nyamuk yang terperangkap di dalam Larvitrap yang berisi air rendaman jerami


Gambar 3. Nyamuk Aedes spp. yang terperangkap Larvitrap.

Dengan pemasangan Larvitrap ini dapat mengurangi tempat perindukan nyamuk di tempat lain yang tidak terkontrol. Sehingga dengan berkurangnya populasi nyamuk penular DBD ini akan mengurangi pula jumlah kasus DBD di masyarakat.

Hasil uji coba  ini diharapkan dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor khususnya untuk pengendalian nyamuk Aedes Aegypti atau Albopictus sebagai solusi murah, sederhana dan aman bagi lingkungan dan manusia. Bagi instansi terkait harap bisa membantu sosialisasi Larvitrap ini di masyarakat dengan diintegrasikan dengan program-program partisipasi masyarakat.


===========================


Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM
-          Staf Bidang P2P Dinas Kesehatan Kab. Tegal
-          Ka.Bid Litbang Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Kab. Tegal


Referensi:


1.      Saryono. 2008. Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Junlah Nyamuk Aedes yang Tertangkap. Tesis: UNDIP Semarang. http://eprints.undip.ac.id/18741/1/sayono.pdf. Diakses tanggal 27 Januari 2019

2.      Lelono A. “Preferensi betina Aedes aegypti (Dipteral: culicide) pada bermacam media oviposisi potensial di lingkungan” dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2010 Mei 20. hlm.417-9

3.      Mardihusodo, Sugeng Juwono. 2009. Pemilihan Tempat Bertelur Nyamuk Aedes Aegypti Pada Air Limbah Rumah Tangga di Laboratorium. 10(4): 205–7

4.      Kementerian Kesehatan RI. 2015. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta. Katalog 614.49, Ind P

5.      Rahmawati, Ade Putri. 2016. Surveilans Vektor Dan Kasus Demam Berdarah Dengue. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah

6.      Kementerian Kesehatan RI. 2017. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M-Plus Dengan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik. Jakarta

7.      Roeberji. 2017. “Teknologi Tepat Guna Larvitrap Sebagai Alternatif Pengendalian
Aedes Aegypti di Desa Plumbon Pulo, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat” Jurnal kesehatan lingkungan (10–17)

8.      Tien Zubaidah dkk. 2017. Modifikasi Ovitrap Dalam Meningkatkan Daya Jebak
Telur Nyamuk Aedes sp di Kota Banjarbaru.
Banjarmasin: Politeknik Kesehatan Kemenkes,
INA-Rxiv

9.      Yanti, Theresya Sri, H. Sardjito Eko Windarso dan Lucky Herawati. 2019. Efektivitas Ketinggian Kain Strimin Pada Modifikasi Larvitrap Terhadap Daya Jebak Larva Aedes spp di Dusun Plosokuning. Yogyakarya: Prodi Sanitasi Lingkungan Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes