Kesadaran manusia atas suatu hal memang berbeda-beda. Tergantung tingkat pendidikan, pola interaksi, paradigma, motif dan tujuan. Semua pendidikan hakikatnya bertujuan meningkatkan level kesadaran. Pendidikan yang menganggap manusia bagaikan bank, sekedar tempat menyimpan ilmu, bukanlah menghasikan sebuah kesadaran. Namun justru kesadaran lah yang akan membedakan manusia dengan hewan. Demikian pendapat Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan Brasil, teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia. Dia menggolongkan kesadaran menjadi tiga, yakni kesadaran magis, kesadaran naif dan kesadaran kritis. Dimanakah tingkat kesadaran kita dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang sedang melanda ini?
Kesadaran magis lahir karena paradigma konservatif. Tidak mau berubah, bertahan di zona nyaman dengan status quo-nya. Kesadaran magis ini menganggap pandemi covid-19 yang ada di masyarakat sebagai sesuatu yang alami, memang sudah seharusnya terjadi. Covid-19 dianggap sudah menjadi ketentuan sejarah dan takdir Tuhan, maka tidak penting untuk mengetahui covid-19 secara sisi ilmiah. Perubahan sosial dianggapnya bukan sesuatu yang harus diperjuangkan. Perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara. Manusia dianggap tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial. Hanya Tuhan yang bisa merubah keadaan covid-19 ini karena Tuhan lah yang merencanakan terjadinya pandemi ini. Solusi atas covid, semuanya adalah rahasia ilahi.
Coba lihat sekeliling kita, masih banyak masyarakat yang tingkat kesadaranya ada di level kesadaran magis ini. Berapa banyak yang mengabaikan protokol kesehatan. Masih bersalaman dengan selain keluarga inti, tidak memakai masker saat keluar rumah, tidak jaga jarak. Banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa kita sedang dalam masalah. Anggapan toh di dunia ini banyak penyakit mematikan lainnya dan itu memang sudah demikian adanya. Toh penyakit yang bersifat pandemi akan selalu ada dari dulu dan sampai kapanpun. Setelah Corona ini ya pasti akan ada penyakit pandemi baru, atau penyakit lama yang akan muncul kembali. Sudah biasa. Siklus kehidupan, takdir, ini hanya cobaan dari Tuhan, atau memang hak Tuhan untuk murka.
Kesadaran magis ini merekomendasikan manusia untuk lebih baik mengabaikan covid, tidak mau tahu, menganggapnya tidak ada, atau menganggapnya ada namun bukan sebuah masalah. Kesadaran magis ini terlihat juga dalam sikap penolakan rapid test, mereka lebih baik untuk tidak mengetahui adanya masalah. Dalam ketidaktahuannya mereka bisa lebih berani menghadapi Corona dari pada orang yang mengetahuinya secara ilmiah. Mereka lebih berani bersalaman, santai dengan tidak memakai masker dan merasa aman saat tidak menerapkan social distancing. Untuk mempertahankan pendapatnya di dunia sosial, mereka melakukan pembenaran keyakinannya dengan terus meredam arus informasi penting tentang covid-19 beserta resikonya, mengabaikan anjuran pemerintah, melakukan argumentasi pendapat yang tidak ilmiah bahkan bisa sampai menantang siap untuk terkena covid-19.
Banyak hal penyebab kesadaran magis masyarakat atas covid-19 ini. Bisa dari faktor publikasi pemerintah yang kurang sampai ke mereka. Dalam komunikasi informasi edukasi ada faktor siapa yang menyampaikan berita, isi berita itu sendiri, cara penyampaian berita, media penyampaian berita, dan bagaimana rantai penyampaian informasi. Perlu dikaji efektivitas dari semua faktor rantai informasi tersebut karena orang dengan kesadaran magis cenderung masih bertahan di mitos, bukan di logos (ilmu).
Kedua, kesadaran naif. Lebih tinggi levelnya dari kesadaran magis. Kesadaran naif ini mengakui adanya masalah. Yakin bahwa covid-19 ada, meyakini keilmiahannya. Namun kesadaran naif ini menafikan potensi manusia untuk melakukan sebuah perubahan dari ketertindasan, takdir, nasib buruk. Pendidikan dan keterampilan manusia tak berhubungan dengan persoalan di masyarakat. Dunia ini dianggap sebuah sistem otomatis yang berjalan penuh dengan keteraturan. Kalaupun ada masalah maka yang perlu diperbaiki adalah individunya, bukan sistemnya.
Kesadaran naif menganggap pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia menerima kenyataan, bukan untuk mengubah keadaan. Manusia ini sadar bahwa mereka sedang dalam masalah pandemi, mereka bisa saja kecewa atas dampak Corona. Namun mereka berkeyakinan bahwa perubahan adalah di luar kontrol manusia. Alam semesta dianggap pasti memiliki mekanisme harmoni tersendiri. Dunia ini akan sembuh sendiri dari Corona, entah itu dengan jalan herd-immunity atau cara alami lainnya. Tuhan yang Maha Pengasih pasti akan menyelesaikannya dengan cara yang tidak diduga oleh manusia.
Kesadaran naif menyadarkan bahwa covid-19 adalah masalah yang aktual. Namun dia tetap melihat manusia dengan segala sisi keterbatasan sehingga percuma untuk melakukan langkah perubahan apapun. Manusia dianggap bukan menjadi bagian yang berkewajiban untuk berubah. Untuk apa sebuah perubahan, toh semua manusia juga akan mati. Mereka semakin putus asa untuk melakukan perubahan karena adanya rintangan di setiap upayanya. Perubahan dianggap mustakhil untuk diupayakan, hanya “tangan Tuhan” yang bisa. Seandainya pandemi tidak berakhirpun, itu dianggap kewajaran yang sudah digariskan oleh takdir Tuhan. Tak ada yang bisa melawan kehendak-Nya.
Maka satu-satunya pilihan saat menghadapi pandemi adalah menerima takdir pahit tersebut. Kesadaran naif tidak memberdayakan manusia dan tidak menempatkan manusia dalam posisi upaya optimal yang bisa dilakukan. Banyak ketidakmungkinan dan pesimisme akan adanya solusi yang disengaja. Semuanya hanyalah jalan buntu. Kesadaran naif ini merekomendasikan manusia untuk bertingkah pasrah. Upaya mereka tidak ada, atau hanya normatif dan setengah-setengah. Mereka bertoleransi pada pelanggaran-pelanggaran social distancing, mereka masih bersalaman dengan alasan “tidak enak” secara sosial, memakai masker hanya sebagai hiasan di leher. Tidak menganggap bahwa sekecil apapun upaya mereka sangatlah bermakna bagi pandemi ini.
Yang terakhir, ada yang disebut kesadaran kritis. Kesadaran ini timbul karena adanya potensi manusia dan keharusan untuk berubah. Manusia ini sadar bahwa dia memiliki kemampuan mengubah struktur secara fundamental. Alam memiliki aturan hukum sendiri untuk berjalan, namun manusia diyakini memiliki ruang untuk berpikir melampaui dan bangkit (transendensi) serta melakukan sebuah perubahan (transformasi). Kesadaran kritis ini tidak hanya sadar kita sedang dalam masalah namun tidak membiarkan dan menyerahkan masalah itu pada mekanisme alami atau takdir Tuhan belaka. Kesadaran kritis selalu siap dan terbuka dengan masalah apapun, resikonya dan siap untuk mencari solusi. Yakin bahwa melakukan perubahan sekecil apapun adalah sebuah mekanisme yang harus ditempuh.
Kesadaran kritis merekomendasikan adanya sebuah harapan dan optimisme. Kesadaran kritis manusia atas covid-19 ini terlihat dari sikap seperti menganggap data adalah sesuatu yang penting. Menyajikan data berapa jumlah hasil pemeriksaan yang terkonfirmasi positif covid-19 dengan apa adanya. Menerima masalah sebagai fakta aktual yang tidak perlu disembunyikan. Tak perlu naif dan konyol dengan menolak realitas. Bahkan manusia dengan kesadaran kritis tidak hanya memperhatikan masalah yang aktual saja, masalah yang masih bersifat potensial juga sudah perlu disikapi dengan manajemen resiko. Kesadaran kritis memahami fitroh manusia adalah untuk melakukan perubahan dengan upaya optimal. Kalaupun upayanya tidak berhasil menurunkan pandemi, mereka tetap terus berupaya bagaimana caranya mengurangi dampak kesakitan atau kematian, dampak penyebaran, dampak sosial dan ekonomi dari pandemi ini.
Kesadaran kritis ini terlihat dari sikap tidak menganggap remeh covid-19 dan langkah pencegahannya. Meskipun dicemooh orang di sekitarnya yang menganggapnya berlebihan dalam menyikapi covid-19. Mereka dianggap penakut, tidak bertawakal kepada Tuhannya. Ketakutannya dalam menjaga jarak, takut bersalaman dengan orangtuanya sendiri yang sudah bukan keluarga inti, dianggap konyol dan tidak menghargai etiket sopan santun. Namun upaya orang-orang dengan kesadaran kritis ini tidak akan pernah berhenti, sekecil apapun adalah sangat bermakna. Mereka tidak akan menyerah kepada takdir, mereka memaknai upaya mereka adalah bagian dari takdir Tuhan yang menginginkan perubahan. Justru perubahan pandemi ini tak akan terjadi tanpa langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan yang mendasar ini.
Di level pemimpin, kesadaran kritis ini akan melahirkan pemimpin tranformasional. Pemimpin yang memiliki tanggung jawab besar untuk melakukan perubahan. Optimisme pemimpin yang kritis ini akan melahirkan harapan pada banyak orang. Sikapnya akan menggerakan orang-orang untuk kritis kepada masalah yang ada, kritis kepada cara pencegahan dan penanggulangannya, dan kritis pada dampak langsung maupun tidak langsung dari pandemi ini. Perhatian kritisnya kepada masyarakat akan mendapatkan dukungan balik di semua langkah kebijakannya.
Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM (Kabid Litbang IAKMI Kab. Tegal)