Demam
Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue
dan ditularkan oleh nyamuk Aedes
Aegypti
dan dapat juga ditularkan oleh Aedes
Albopictus,
yang ditandai dengan
demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, disertai manifestasi
perdarahan. Termasuk uji Tourniquet positif, trombositopeni (jumlah
trombosit ≤ 100.000/µl), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20%),
disertai dengan atau tanpa perbesaran hati. (Depkes RI, 2005) (9)
Jumlah kasus DBD di Indonesia menempati urutan pertama
setiap tahunnya dengan kasus tertinggi di Asia Tenggara.(5) Situasi kasus DBD di Kabupaten Tegal pada tahun 2019 terjadi
kenaikan yang signifikan dibandingkan tahun 2018. Jumlah kasus DBD tahun 2019
ada 370 kasus, dengan kematian 3 anak, sedangkan jumlah kasus DBD tahun 2018
berjumlah 77 kasus dengan kematian 1 anak. Jumlah desa endemis DBD kini
sebanyak 21 desa atau 7% dari seluruh desa
di Kabupaten Tegal. (Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal, 2019)
Terdapat
3 faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus Dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus ini ditularkan kepada manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes spp.(5) “Spp.” adalah istilah
dalam Entomologi (ilmu yang mempelajari serangga) yang maksudnya nyamuk Aedes
tersebut belum diidentifikasi spesifik spesiesnya, apakah itu spesies Aegypti, Albopictus,
Vexan atau lainnya.
Nyamuk Aedes
Aegypti tersebar luas di rumah-rumah, sekolah dan tempat-tempat umum
lainnya seperti tempat ibadah, restoran, kantor, dan balai desa sehingga setiap
keluarga dan masyarakat beresiko tertular penyakit DBD.(9) Resiko penularan adalah banyaknya
tempat-tempat perindukan nyamuk Aedes Aegepty. Kepadatan
vektor di Indonesia (indeks premis/HI) diperkirakan 20% atau 5% di atas nilai
ambang risiko penularan. (1) Tempat istirahat yang
disukai nyamuk Aedes spp.
adalah benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti gorden, kelambu dan
pakaian di kamar yang gelap dan lembab.(3)
Kementerian Kesehatan RI
merekomendasikan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan 3M plus secara terus
menerus dan berkesinambungan. Menguras (bak mandi), Menutup rapat (tempat
penampungan air) dan Mendaur ulang (barang bekas yang berpotensi menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk). Ditambah lagi tindakan lain untuk mengurangi tempat
perindukan nyamuk dan mencegah gigitan nyamuk. Seperti mengganti air vas bunga,
tempat minum burung seminggu sekali, memperbaiki saliran air yang tidak lancar,
menutup lobang pada potongan bambu dengan tanah, menabur larvasida, memelihara
ikan pemakan jentik, menggunakan kelambu atau menggunakan kawat kasa, menghindari
kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, menggunakan obat anti nyamuk,
menanam tumbuhan pengusir nyamuk, menggunakan perangkap telur/larva/nyamuk.(4)(6)
Sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan, pasal 22 ayat 2 yang berbunyi “Pengendalian vektor penyakit
merupakan tindakan pengendalian untuk mengurangi atau melenyapkan gangguan yang
ditimbulkan oleh binatang pembawa penyakit seperti serangga (nyamuk) dan
binatang pengerat.”
Pengendalian
nyamuk Aedes
Aegypti dapat
dilakukan secara fisika, kimiawi (insektisida) dan modifikasi lingkungan
(Soegijanto, 2014).(9)
Menurut Djojosumarto (2008) menyatakan bahwa selama ini teknik pengendalian
larva nyamuk Aedes Aegypti
dilakukan secara kimiawi (menggunakan insektisida).(9) Hal ini dapat berdampak buruk terhadap lingkungan
maupun kesehatan sebagai akibat dari pajanan pestisida.
Program
pengendalian Aedes spp di
berbagai negara termasuk Indonesia pada umumnya kurang berhasil, karena hampir
sepenuhnya bergantung pada pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk
dewasa. Hal ini membutuhkan biaya besar (5 milyar per tahun),menimbulkan
resistensi vektor akibat dosis yang tidak tepat, dan tidak berdampak panjang. (9)
Saat
ini telah banyak dikembangkan metode pengendalian vektor DBD yang lebih aman,
yaitu melalui pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes Aegypti pra dewasa (telur dan jentik/larva) menggunakan Larvitrap. Larvitrap
(larva: jentik nyamuk, trap:
perangkap) adalah wadah yang dapat
menampung air dengan penambahan kain strimin. Prinsip kerja alat ini adalah
sebagai perangkap larva dengan membuat breeding places Aedes spp untuk bertelur. Telur
yang diletakkan oleh nyamuk di dinding larvitrap saat menetas dan menjadi larva
tidak mampu keluar dari wadah tersebut. Telah diketahui bahwa tahap pra dewasa (telur dan jentik/larva) merupakan titik kritis
pengendalian nyamuk Aedes spp.
Pembuatan larvitrap dapat menggunakan bahan-bahan bekas yang mudah ditemukan di
lingkungan sekitar seperti ember, pot bunga , gerabah dan plastik bekas.(7)
Pada
tahun 2015, Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan Jakarta telah mencoba
melakukan pengembangan teknologi tepat guna untuk pengendalian vektor
(perangkap telur dan larva nyamuk Aedes spp)
yang lebih sederhana yang dikenal dengan nama teknologi tepat guna (TTG) Larvitrap. Hasil uji menunjukkan bahwa dari
pengambilan 554 sampel larvitrap, memiliki preferensi 72,0% menjadi habitat
berkembang biaknya nyamuk Aedes spp.(9) Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan oleh Roeberji, dkk (2017) hasil uji preferensi
menunjukkan bahwa 72,0% Larvitrap berhasil menjebak jentik nyamuk Aedes spp.
Gambar 1. Bentuk Larvitrap sederhana
Larvitrap menggunakan semacam atraktan untuk menarik perhatian
nyamuk untuk bertelur di dalamnya. Atraktan adalah sesuatu yang memiliki daya
tarik atau dapat mengundang serangga (nyamuk) untuk menghampiri baik secara
kimiawi maupun visual (fisik). Atraktan dari bahan kimia dapat berupa senyawa amonia,
CO2,
asam laktat, actenol dan asam lemak.(1) Salah satu atraktan yang mudah didapat dan efektif digunakan
bersama Larvitrap adalah air rendaman jerami.
Pada air rendaman jerami terjadi proses fermentasi secara anaerob.
Hasil fermentasi rendaman jerami biasanya berwarna kuning keruh dan beraroma
menyengat. Bau menyengat dari air rendaman jerami adalah hasil fermentasi
berupa CO2
dan amoniak. Senyawa ini tebukti dapat mempengaruhi saraf penciuman dan
mempengaruhi nyamuk Aedes spp. dalam memilih container sebagai
tempat bertelur.(1)
Hasil penelitian ini sejalan dengan yang telah dilakukan oleh Lelono
tahun 2010 yang mendapatkan bahwa air jerami lebih banyak dijumpai telur Aedes
spp dari pada media yang lainnya. Pada penelitian ini ovitrap (perangkap
telur nyamuk) yang berisi rendaman jerami memperlihatkan indeks Ovitrap 61,7% dengan
jumlah telur 1.758 butir, sedangkan penelitian Lelono tahun 2010 mendapatkan jumlah
telur sebanyak 420 butir. Jumlah tersebut merupakan perolehan telur paling
banyak daripada media lain (air aquades, air kelapa, air hujan, air kolam, air
sumur, air mineral) yang digunakan oleh Lelono dalam penelitiannya.(2)
Perkembangan telur menjadi larva nyamuk membutuhkan waktu 1-2 hari. Larva Aedes
spp. selanjutnya akan mengalami perkembangan menjadi pupa dalam waktu 4-9
hari.(1)
Dalam hal atraktan fisik seperti warna, penelitian Tien Zubaidah, dkk
(2017) Ovitrap dengan warna hitam menghasilkan jumlah telur terbanyak (2253
butir telur) dan Ovitrap tanpa warna menghasilkan jumlah telur paling sedikit
(1069 butir telur). Perindukan nyamuak Aedes sp yang paling disenangi
yaitu yang berwarna gelap, kebiasaan istirahat nyamuk Aedes sp lebih
banya pada benda-benda yang berwarna gelap dan tempat-tempat yang terlindung.(8)
Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal sendiri telah melakukan uji coba
penggunaan Larvitrap pada tiga desa endemis, yakni Desa Pesarean kecamatan
Adiwerna, Desa Yamansari Kecamatan Lebaksiu, dan Desa Kebandingan Kecamatan Kedungbanteng
pada bulan Oktober-Desember 2019. Dengan menempatkan 2 buah Larvitrap di masing-masing
rumah, yakni di dalam dan di luar rumah. Dari sejumlah total 730 rumah yang di
uji coba, diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil uji coba Larvitrap di 3 desa endemis di Kabupaten
Tegal
Diperoleh hasil bahwa Larvitrap yang diletakkan di dalam rumah
efektif menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 33,7% dan Larvitrap yang
dipasang di luar rumah yang efektif
menjadi tempat perindukan nyamuk sebesar 28,8%.
Larvitrap yang diujicobakan tersebut terbuat dari toples kue, yang
diberi lubang pada tutupnya. Lalu pada lubang tersebut diberi sebuah pipa yang
telah di cat warna hitam pada bagian sisi lingkarannya. Ujung bawah pipa
tersebut telah diikatkan sebuah kain strimin yang menggunakan cable ties.
Tiga helai daun jerami direndam air secukupnya hingga melebihi tingginya kain
strimin.
Larvitrap tersebut dimonitor dua minggu sekali oleh kader
kesehatan desa dan dicatat hasilnya. Lalu jentik nyamuk yang terperangkap langsung
dibuang ke tanah dan mati jika terkena sinar matahari. Atau jika sudah menjadi
nyamuk, dibunuh terlebih dahulu dengan menyiramkan air panas ke dalam
larvitrap.
Gambar 3. Nyamuk Aedes spp. yang terperangkap Larvitrap.
Dengan pemasangan Larvitrap ini dapat mengurangi tempat perindukan
nyamuk di tempat lain yang tidak terkontrol. Sehingga dengan berkurangnya
populasi nyamuk penular DBD ini akan mengurangi pula jumlah kasus DBD di
masyarakat.
Hasil uji coba ini
diharapkan dapat menjadi suatu alternatif pengendalian vektor khususnya untuk
pengendalian nyamuk Aedes Aegypti atau Albopictus sebagai solusi murah,
sederhana dan aman bagi lingkungan dan manusia. Bagi instansi terkait harap
bisa membantu sosialisasi Larvitrap ini di masyarakat dengan diintegrasikan
dengan program-program partisipasi masyarakat.
===========================
Ditulis oleh: Bagus Johan Maulana, SKM
-
Staf Bidang P2P Dinas Kesehatan Kab. Tegal
-
Ka.Bid Litbang Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Kab.
Tegal
Referensi:
1.
Saryono. 2008. Pengaruh Modifikasi Ovitrap terhadap Junlah Nyamuk
Aedes yang Tertangkap. Tesis: UNDIP Semarang. http://eprints.undip.ac.id/18741/1/sayono.pdf.
Diakses tanggal 27 Januari 2019
2.
Lelono A. “Preferensi betina Aedes aegypti (Dipteral: culicide)
pada bermacam media oviposisi potensial di lingkungan” dalam Prosiding
Seminar Nasional Entomologi V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga untuk
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2010
Mei 20. hlm.417-9
3.
Mardihusodo, Sugeng Juwono. 2009. Pemilihan Tempat Bertelur
Nyamuk Aedes Aegypti Pada Air Limbah Rumah Tangga di Laboratorium.
10(4): 205–7
4.
Kementerian
Kesehatan RI. 2015. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta. Katalog 614.49, Ind P
5.
Rahmawati, Ade Putri. 2016. Surveilans Vektor Dan Kasus Demam
Berdarah Dengue. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Muhammadiyah
6.
Kementerian
Kesehatan RI. 2017. Petunjuk Teknis Implementasi PSN 3M-Plus Dengan Gerakan
1 Rumah 1 Jumantik. Jakarta
7.
Roeberji. 2017. “Teknologi Tepat Guna Larvitrap Sebagai Alternatif
Pengendalian
Aedes Aegypti di Desa Plumbon Pulo, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat” Jurnal kesehatan lingkungan (10–17)
Aedes Aegypti di Desa Plumbon Pulo, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat” Jurnal kesehatan lingkungan (10–17)
8.
Tien Zubaidah dkk. 2017. Modifikasi Ovitrap Dalam Meningkatkan
Daya Jebak
Telur Nyamuk Aedes sp di Kota Banjarbaru. Banjarmasin: Politeknik Kesehatan Kemenkes, INA-Rxiv
Telur Nyamuk Aedes sp di Kota Banjarbaru. Banjarmasin: Politeknik Kesehatan Kemenkes, INA-Rxiv
9.
Yanti, Theresya Sri, H. Sardjito Eko Windarso dan Lucky Herawati. 2019.
Efektivitas Ketinggian Kain Strimin Pada Modifikasi Larvitrap Terhadap Daya
Jebak Larva Aedes spp di Dusun Plosokuning. Yogyakarya: Prodi Sanitasi
Lingkungan Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes